Epilepsi adalah Gangguan Sistem Saraf, Bahayakah? Ini Dia Faktanya!
Epilepsi adalah penyakit kronis dengan ciri kejang. Cari tahu lebih lanjut yuk!
Definisi epilepsi atau dikenal dengan sebutan ayan merupakan gangguan pada sistem saraf pusat akibat aktivitas listrik berlebih di otak. Hal ini biasanya bisa menyebabkan penderitanya mengalami kejang secara berulang pada sebagian atau seluruh tubuh.
Umumnya, seseorang didiagnosis mengalami epilepsi jika sudah mengalami setidaknya dua kali kejang yang tidak diprovokasi. Nah, untuk mengetahui lebih lanjut mengenai epilepsi, simak ini ulasan selengkapnya.
Benarkah Penyebab Epilepsi adalah Cedera?
Belum bisa diketahui secara pasti apa yang menyebabkan epilepsi, nih! Epilepsi sendiri dapat mulai diidap pada usia kapan saja, namun umumnya terjadi sejak masa kanak-kanak.
Pada sekitar separuh dari populasi pasien dengan epilepsi, penyebab umum yang mendasari penyakit ini tidak dapat teridentifikasi. Untuk separuh lainnya, epilepsi diduga berkaitan dengan beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor genetik
Sebagian tipe epilepsi, yang dikategorikan berdasarkan tipe kejang yang kamu alami atau bagian dari otak yang terlibat, dapat dialami lebih dari satu anggota keluarga. Pada kasus-kasus tersebut, kemungkinan terdapat pengaruh genetik yang terlibat.
Namun, pada sebagian besar orang, genetik hanya sebagian dari penyebab epilepsi. Adanya gen tertentu ini dapat membuat seseorang menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang dapat memicu kejang.
2. Trauma pada kepala
Penyakit epilepsi bisa juga terjadi akibat adanya trauma pada kepala. Biasanya, trauma kepala ini disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, atau cedera traumatik lainnya.
3. Kondisi otak
Kondisi otak menjadi salah satu penyebab dari epilepsi pada seseorang. Beberapa kondisi otak yang menyebabkan kerusakan pada otak, seperti tumor otak atau stroke. Stroke sendiri merupakan penyebab epilepsi yang paling sering terjadi pada orang dewasa berusia di atas 35 tahun.
4. Penyakit menular
Penyebab epilepsi selanjutnya yang perlu kamu ketahui adalah akibat menderita penyakit menular. Penyakit menular yang dimaksud, seperti meningitis, HIV/AIDS, dan encephalitis virus.
5. Cedera sebelum persalinan
Epilepsi pada anak biasanya dipicu akibat berbagai gangguan yang terjadi selama kehamilan. Sebelum lahir, bayi biasanya sensitif terhadap kerusakan otak yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti infeksi pada ibu, nutrisi yang buruk, hingga kekurangan oksigen.
6. Gangguan perkembangan
Epilepsi atau ayan terkadang dapat dikaitkan dengan gangguan perkembangan pada tubuh. Beberapa gangguan perkembangan yang memicu epilepsi, seperti autisme dan neurofibromatosis.
Epilepsi termasuk penyakit yang cukup berbahaya. Sebab, kejang seluruh tubuh yang diakibatkan oleh epilepsi bisa membuat penderitanya kehilangan kesadaran. Karena itu, perawatan harus segera dilakukan jika sudah terkena penyakit epilepsi.
Apa Saja Gejala dari Epilepsi?
Gejala utama dari penyakit epilepsi adalah kejang yang terjadi secara berulang. Kejang sendiri disebabkan oleh aktivitas listrik abnormal pada otak. Tanda dan gejala dari kejang dapat mencakup beberapa hal, seperti:
- Mengalami kebingungan yang sementara.
- Tatapan mata tampak kosong.
- Gerakan kelojotan yang tak terkendali pada kaki dan tangan.
- Hilangnya kesadaran pada tubuh.
- Gejala psikologis, seperti ansietas, rasa takut, dan deja vu.
Tanda-tanda dari epilepsi bisa bervariasi, tergantung dari tipe kejang yang terjadi. Pada sebagian besar kasus, orang dengan epilepsi umumnya menunjukkan tipe kejang yang sama setiap kali penyakit kambuh.
Oleh karena itu, tanda dan gejala yang timbul bisa mirip pada setiap episode. Umumnya, dokter akan mengklasifikasikan kejang menjadi dua kelompok besar, yaitu kejang fokal dan kejang umum.
Apabila kejang terjadi sebagai akibat dari aktivitas abnormal pada satu area di otak, maka disebut sebagai kejang fokal atau parsial. Sementara itu, kejang yang terkesan melibatkan seluruh area otak disebut sebagai kejang umum.
BACA JUGA: 7 Fakta Ini Buktikan Herpes adalah Penyakit Berbahaya | Balita Juga Bisa Kena!
Bagaimana Diagnosis yang Dilakukan untuk Epilepsi?
Diagnosis epilepsi dapat ditentukan berdasarkan wawancara medis mendetail, pemeriksaan fisik secara langsung, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Untuk mengetahui epilepsi, dokter akan menanyakan perihal aktivitas yang dilakukan penderitanya.
Selanjutnya, beberapa tes juga dilakukan untuk mengetahui bagaimana kinerja otak dengan cara mengecek cara berjalan, kepekaan, otot, serta kemampuan berpikir. Pemeriksaan penunjang lain yang mungkin perlu dilakukan, seperti:
1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis epilepsi yang pertama adalah tes darah. Dokter merekomendasikan pemeriksaan darah guna mengevaluasi adanya tanda-tanda infeksi, kelainan genetik, dan kondisi lain yang berkaitan dengan kejang.
2. Elektroencefalogram atau EEG
EEG merupakan salah satu pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis epilepsi. Pada pemeriksaan ini, dokter akan meletakkan elektroda pada kepala yang berguna untuk merekam aktivitas listrik otak.
3. Computerized tomography atau CT
Pemeriksaan CT menggunakan sinar X guna menghasilkan pencitraan potong lintang dari otak. Pemeriksaan ini bisa menunjukkan adanya abnormalitas pada otak yang menjadi penyebab dasar kejang, seperti tumor, kista, maupun perdarahan.
Selain itu, ada pula pemeriksaan neurologis yang dapat mengevaluasi pola pikir, daya ingat, dan keterampilan wicara. Pemeriksaan ini akan membantu dokter untuk menentukan area otak mana yang mungkin terlibat.
Penanganan terhadap Penyakit Epilepsi
Penanganan dari epilepsi biasanya diawali dengan pemberian obat-obatan. Apabila pengobatan tidak bisa mengatasi kondisi epilepsi, maka dapat direkomendasikan beberapa penanganan. Beberapa pilihan penanganan terhadap penyakit epilepsi, yaitu:
1. Pengobatan
Sebagian besar orang dengan epilepsi, gejalanya bisa diatasi dengan mengonsumsi satu jenis obat anti kejang atau obat antiepileps untuk mengurangi frekuensi kejang. Beberapa jenis obat antikejang tersebut adalah asam valproate, carbamazepine, lamotrigine, levetiracetam, dan topiramate.
Untuk menentukan jenis pengobatan dan dosis, biasanya membutuhkan evaluasi mendalam dengan dokter. Dokter dapat mempertimbangkan kondisi yang dialami, seperti frekuensi kejang, usia, dan berbagai faktor lain.
2. Pembedahan
Jika pengobatan tidak berhasil mengendalikan kejang, dokter dapat mempertimbangkan prosedur operasi atau pembedahan. Prosedur ini dilakukan untuk mengangkat area otak yang menyebabkan terjadinya kejang.
Dokter biasanya dapat mempertimbangkan untuk melakukan pembedahan apabila kejang berasal dari area otak yang berukuran kecil. Operasi ini bisa pula dilakukan jika area tersebut tidak mengganggu fungsi vital, seperti bahasa, wicara, fungsi motorik, daya ingat, atau pendengaran.
3. Terapi epilepsi
Tak hanya pengobatan dan pembedahan, terdapat beberapa jenis terapi yang dapat dilakukan untuk menangani epilepsi. Jenis terapi epilepsi yang bisa membantu mengurangi frekuensi kejang, antara lain:
- Stimulasi saraf vagus, merupakan terapi yang dilakukan dengan memasang alat di bawah tulang selangka kiri.
- Diet ketogenik, biasanya dilakukan dengan menerapkan pola makan tinggi lemak dan rendah karbohidrat dalam waktu tertentu di bawah pengawasan dokter.
- Deep brain stimulation, dapat dilakukan dengan memasang alat khusus untuk menyeimbangkan sinyal listrik di dalam otak.
Sebagian dari epilepsi tidak diketahui penyebab mendasarnya sehingga belum terdapat metode pencegahan yang terbukti efektif. Meski begitu, ada beberapa pencegahan untuk menghindari risiko terjadinya epilepsi, seperti mencegah cedera kepala, terapkan gaya hidup sehat, dan jaga kesehatan saat hamil.
Sudah tahu kan kalau epilepsi adalah penyakit yang bisa membahayakan jika tidak ditangani dengan cepat? Jika tidak ingin penyakit epilepsi semakin parah, pastikan untuk segera melakukan pemeriksaan dengan dokter ahli, ya.
Punya pengalaman terkait dengan penyakit epilepsi? Coba tulis di kolom komentar, yuk!
Mau tinggal di kost yang nyaman, aman, dan rasanya #SenyamanDiRumah? Sudah pasti harus cek di kost Rukita. Rukita punya sederat kost coliving yang tersebar di berbagai lokasi strategis di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya.
Jangan lupa unduh aplikasi Rukita via Google Play Store atau App Store untuk cari kost lebih mudah. Bisa juga langsung hubungi Nikita (customer service Rukita) di +62 811-1546-477, atau kunjungi www.Rukita.co.
Follow juga akun Instagram Rukita di @Rukita_Indo dan Twitter di @Rukita_Id untuk berbagai info terkini serta promo menarik!
Bagikan artikel ini