Apa Itu Stockholm Syndrome? Kenali Sejarah, Penyebab, dan Gejalanya!
Yuk, kenali gejala stockholm syndrome beserta penyebabnya!
Semula, Stockholm Syndrome dikenal sebagai laku korban penculikan yang menaruh simpati, rasa suka, atau bahkan membenarkan tindakan pelaku penculiknya. Namun, sekarang, istilah tersebut mengalami perluasan makna.
Saat ini istilah Stockholm Syndrome bisa dimengerti pula sebagai sikap korban yang menormalisasi setiap tindak kekerasan pelaku terhadapnya. Sikap tersebut kini tidak hanya melekat pada kasus penculikan, melainkan juga pada kasus KDRT sampai kekerasan dalam hubungan pacaran.
Mengenal Apa itu Stockholm Syndrome
Stockholm Syndrome merupakan fenomena psikologi yang jarang ditemui. Biar lebih jelas, yuk, simak gejala dan penanganan Stockholm Syndrome pada ulasan di bawah ini!
1. Sejarah Stockholm Syndrome
Nils Bejerot, seorang psikiater sekaligus kriminolog, merupakan pencetus istilah ini. Ia menggunakan istilah Sindrom Stockholm untuk menunjuk reaksi psikologis tertentu yang dialami oleh korban suatu tindak kekerasan.
Istilah Stockholm Syndrome sendiri berasal dari suatu peristiwa perampokan bank di kota Stockholm, Swedia, pada tahun 1973. Komplotan perampok Jan-Erik Olsson memasuki Sveritge Kreditbank kemudian mengurung empat pegawai di sana sebagai sadlndera di ruang penyompanan uang selama kurang lebih enam hari atau 131 jam.
Menurut investigasi polisi, selama ditahan sebagai sandera para pegawai bank tersebut menerima banyak tindak kekerasan dari komplotan penjahat tersebut, bahkan diancam bakal dibunuh.
Namun, pada saat polisi berupaya melakukan negosiasi dengan perampok untuk pelepasan sandera, mereka yang sedang jadi bahan negosiasi malah membantu komplotan Jan-Erik dan menyarankan mereka agar tidak menyerahkan diri pada polisi.
Para pegawai yang jadi sandera tersebut bahkan mengkritik polisi dan pemerintah lantaran menurut mereka tidak peka pada perspektif yang dimiliki perampok. Keempatnya pun menolak untuk jadi saksi di pengadilan melawan komplotan perampok itu.
Mereka menyatakan merasakan bersyukur karena si oerampok telah mengembalikan hidup mereka. Yang lebih menarik adalah fakta bahwa satu-satunya sandera perempuan di sana menyatakan dirinya jatuh cinta pada begundal Jan-Erik sampai-sampai mereka bertunangan.
Semenjak kejadian itu, reaksi psikologis yang demikian disebut dengan istilah Stockholm Syndrome. Sampai sekarang ini.
BACA JUGA: Anorexia adalah Suatu Gangguan Psikologis, Yuk Kenali Penyebabnya!
2. Sindrom Stockholm Berawal dari Bentuk Pertahanan Diri
Menurut para ahli psikiatri, Sindrom Stockholm bisa merupakan perilaku sadar maupun tidak sadar dari seseorang yang mengalami tekanan atas pengalaman tindak kekerasan. Namun, pada dasarnya, ia merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri dengan menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan perasaan seseorang yang sebenarnya.
Orang ini menunjukkan perilaku tersebut untuk mengamankan dirinya. Sebab jika tidak demikian ia tahu bisa saja dirinya kehilangan sesuatu yang dia anggap berharga atau mengalami kejadian yang tak diinginkan, atau memang karena mentalnya telah terasa amat lelah.
Hal-hal sebenarnya yang ia rasakan, misalnya saja adalah kemarahan, takut, malu, gelisah, dan sedih. Akan tetapi semua itu tidak tampak ditunjukkannya.
Sebagai contoh, seorang korban KDRT justru menormalisasi tindakan keji pelakunya. Ia tidak mencoba menjauh dari kekerasan yang kerap dialami oleh dirinya.
Perilaku tersebut tentu terjadi tidak ujug-ujug. Ia pada awalnya akan merasa takut, marah, sedih, dan sebagainya. Namun, mengingat hal lain seperti nasib anak dan omongan tetangganya kelak, misalnya, ditambah merasa tidak banyak punya pilihan lain, ia akhirnya menormalisasi kekerasan tersebut.
Alih-alih menunjukkan semua emosinya itu, ia malah mulai membentuk mekanisme pertahanan diri dengan cara menunjukkan sikap berlawanan dengan apa yang sesungguhnya dirasakan atau seharusnya dilakukan.
3. Cara Bertahan yang Delusif
Selain itu, beberapa ahli menyatakan juga bahwa tindakan-tindakan pelaku seperti memberi makan atau membiarkan korbannya tetap hidup malah diterjemahkan oleh sang korban sebagai penyelamatan. Atau, serupa sifat welas yang diberikan kepadanya.
Maka, sindrom ini pun dikenal oleh para ahli sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri yang delusif, seperti yang tercantum dalam sebuah studi pada tahun 2015 di International Journal of Advanced Research.
Dalam studi tersebut, para peneliti menaikkan contoh kasus sebagai berikut: “Ketika penyelidik FBI mewawancarai pramugari yang disandera selama pembajakan pesawat, mereka menyimpulkan bahwa ada 3 faktor yang diperlukan untuk mengembangkan stockholm syndrome, yaitu:
- Situasi krisis harus berlangsung selama beberapa hari atau lebih.
- Penyandera harus tetap berhubungan dekat dengan para korban (korban tidak dapat ditempatkan di ruangan terpisah).
- Pelaku penyandera harus menunjukkan kebaikan kepada para korban atau setidaknya menahan diri untuk tidak menyakiti mereka.”
Mereka, para peneliti dalam studi ini, menjelaskan pula bahwa sindrom Stolckhom dapat dikaitkan dengan pengalaman nenek moyang pemburu-pengumpul di masa lalu.
Nyawa mereka sering terancam, dan terkadang anak-anak mereka terbunuh oleh kelompok suku yang lain. Maka membangun ikatan dengan suku yang menahan mereka dapat memastikan kelangsungan hidup mereka.
4. Gejala Stockholm Syndrome
Para ahli sepakat melabeli Sindrom Stockholm sebagai penyimpangan sikap mental. Perilaku yang didasari olehnya cenderung mendorong korban kekerasan bertahan dalam satu hubungan yang tidak sehat.
Sama seperti gangguan kesehatan mental lainnya, ini pun memiliki tanda-tanda atau gejala. Berikut ini merupakan gejala dari sindrom Stockholm yang paling khas.
- Adanya perasaan positif terhadap penculik, penyandera, atau pelaku kekerasan.
- Tumbuhnya prasangka atau perasaan negatif terhadap keluarga, kerabat, pihak berwenang, yang berusaha membantu korban agar lepas dari pelaku.
- Menormalisasi tindakan pelaku.
- Sepakat bahkan mendukung kata-kata, tindakan, dan nilai-nilai yang dipercaya pelaku.
- Ada perasaan positif yang disampaikan terang-terangan oleh pelaku terhadap korban.
- Enggan berpartisipasi dalam upaya pembebasan dirinya dari pelaku.
- Pada kasus-kasus tertentu, korban bahkan bisa merasakan kedekatan emosional dengan pelaku.
5. Upaya Merehabilitasi Sindrom Stockholm
Meski begitu, Sindrom Stolckhom ini masih bisa disembuhkan, lewat jalan rehabilitasi. Upaya penyembuhan ini pada gilirannya akan ideal ketika melibatkan berbagai oihak seperti lembaga perlindungan masyarakat, psikolog, dan tim medis.
Estimasi masa rehabilitasi tidak bisa ditentukan dan dipukul rata bagi setiap penyintas. Ia akan bergantung pada seberapa kuat hubungan emosional yang telah terjalin di antara pelaku dan korban.
Serupa dengan berbagai kakus akibat pengalaman traumatis serius, pendekatan suportif dan psikoterapi sangat diperlukan.
Setiap bentuk perhatian dan dukungan dari keluarga dan kerabat dekat akan sangat membantu. Lebih-lebih, apabila korban terdiagnosis mengalami komplikasi kesehatan mental yang lain seperti depresi.
Itulah penjelasan mengenai Stolckhom Syndrome, mulai dari sejarah, penyebab, contoh kasus, sampai upaya yang bisa dilakukan untuk menanganinya. Punya pendapat lain atau informasi tambahan mengenai topik di atas? Yuk, share di kolom komentar!
Cari kost dekat dengan kost dan perkantoran serta berfasilitas eksklusif? Kost Rukita pilihan tepat! Semua unit kost Rukita di Jabodetabek, Surabaya dan Bandung berada di lokasi strategis dengan akses mudah. Yuk, tonton video di atas untuk tahu apa saja keunggulan Rukita!
Unduh aplikasi Rukita di Play Store atau App Store untuk cari kost lebih mudah dan seru. Mau tanya-tanya tentang kost Rukita? Bisa hubungi langsung ke Nikita (customer service Rukita) di +62 811-1546-477 atau kunjungi www.Rukita.co.
Jangan lupa follow Instagram Rukita di @Rukita_indo dan Twitter @Rukita_id supaya nggak ketinggalan diskon dan update terkini!
Bagikan artikel ini